Selasa, Desember 10, 2019

Perlukah Mengubah-ubah Susunan Acara?

Untuk susunan acara dan resepsi pernikahan, biasanya telah memiliki susunan acara yang standar, telah dianggap 'baku', dan rata-rata pihak EO, MC, dan entertainment pendukung acara telah sangat hafal dengan susunan acara yang telah dianggap standar ini.

Susunan acara yang dimaksud antara lain bisa dilihat pada artikel kami dengan judul

Namun demikian, tentu beberapa dari mempelai maupun keluarga, terkadang berpikir bahwa mereka bisa menyusun acara dengan lebih baik. Mereka punya ide yang lebih bagus daripada susunan acara yang telah biasa. Hal ini tentu sangat wajar dan sah-sah saja, karena memang sudah sifat alami manusia untuk selalu merasa bahwa kita menemukan ide yang lebih baik. Teriakan I've got a better idea! adalah sesuatu yang sangat jamak dan beberapa di antaranya memang benar-benar sebuah awal dari penemuan baru yang sangat bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.

Namun di lain pihak, susunan acara yang selama ini telah dipakai, yang selama ini selalu diulang-ulang sehingga bagi beberapa kita menjadi membosankan, kurang greget, dan kurang dahsyat, telah melalui proses seleksi alam sehingga akhirnya terpilih menjadi acara yang standar, baku, dan selalu diterapkan secara berulang-ulang. Artinya memang itulah yang terbaik.

Jadi, jika Anda mengubah-ubahnya tanpa alasan yang kuat, besar kemungkinan acara Anda kualitasnya tidak akan sebagus kalau kita mempergunakan susunan acara yang biasa.

Saya akan mempergunakan beberapa contoh, dari yang sederhana sampai yang serius.

Contoh sederhana, dalam pelaksanaan resepsi secara umum susunannya sbb:
1. Penyambutan mempelai
2. Sesampainya mempelai di pelaminan, pengambilan foto mempelai dan orang tua
3. Tarian tradisional (bagi resepsi dengan adat tertentu)
4. Kata sambutan
5. Pemberian ucapan selamat
6. Foto bersama

Namun dalam satu kasus, pihak keluarga meminta agar susunan diubah, agar tarian yang seharusnya sebelum kata sambutan, dimundurkan menjadi sesudah kata sambutan, bersamaan dengan pemberian ucapan selamat.

Saya selaku MC menyampaikan bahwa acara bisa menjadi tidak terfokus, ketika tamu undangan bersalaman  dengan kedua mempelai lalu para penari juga menampilkan tarian. Namun panitia keluarga tetap bersikeras, dan hal tersebut dilaksanakan.

Alhasil, apa yang saya prediksikan memang terjadi. Suasana menjadi agak rush. Sesudah kata sambutan diberikan, hadirin dipersilahkan memberikan ucapan selamat dan oleh karenanya terjadi antrian rame yang sangat panjang, sedangkan para penari harus keluar dari balik sisi panggung melewati antrian hadirin tadi. 

Penari yang seharusnya melenggang-lenggok keluar dari balik panggung terpaksa harus meyibakkan antrian dan bilang "Permisi, permisi..." terlebih dahulu sebelum mencapai area di depan pelaminan. Ketika mereka menari pun, tentu saja konsentrasi hadirin telah terpecah. Bagi yang tengah bersalaman, tentu tidak akan pay attention kepada penari karena sibuk memberikan ucapan selamat kepada mempelai sembari beramah tamah. Demikinan pula dengan hadirin yang tengah mengambil makanan, tentu tak mungkin pula menghentikan menyendok gulai dan rendang sambil mata menyaksikan tarian.

Terlepas dari apapun alasan untuk perubahan susunan tersebut, hasilnya tidak lebih baik bukan? Malah lebih buruk, kalau begitu, that is not a better idea.
Okelah kita tentu tak perlu antipati terhadap eksperimen. Bagaimana kalau perubahan itu memang lebih baik dari yang selama ini dilaksanakan? Eksperimen boleh saja, tapi kalau hari bahagia Anda yang diharapkan hanya sekali seumur hidup dan dijadikan pula untuk ekperimen coba-coba, mau?

Kasus yang lebih parah terjadi sewaktu akad nikah, yang demi menghargai mempelai, tidak usah kita sebutkan dimana terjadinya dan kapan.

Jauh-jauh hari saya telah mengirimkan Buku Panduan Acara Pernikahan kepada mempelai agar segera menyusun nama-nama dan hal-hal yang harus dipersiapkan namun tentu susunan standar tersebut tak harus diubah.

Namun sewaktu teknikal meeting, saya mulai merasakan adanya beberapa keganjilan - eh hal-hal yang tidak biasa. Keluarga memberikan alasan karena "Adat kami memang begitu."

Anyway, saya tentu akan berusaha sebaik mungkin mengikuti kemauan klien.

Pada saat itu, mempelai wanita tidak dihadirkan dari awal (istilahnya diumpetin) dan sewaktu mempelai pria mengucapkan ijab qabul. Hal ini memang wajar, karena ada juga alasan keagamaan yang juga sependapat dengan hal seperti ini.

Namun, sesudah ijab dan qabul (bagian "Saya nikahkan..." dan "Saya terima nikahnya..."), biasanya mempelai wanita dipersilahkan masuk, kemudian keduanya menandatangani buku nihak sembari diabadikan, dilanjutkan dengan pemasangan cincin kawin dan penyerahan mas kawin, sembari diabadikan.

Setelahnya acara berlanjut dengan nasehat pernikahan dan kemudian sungkeman kedua mempelai pada orang tua.

Demikianlah biasanya, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang ketika akad nikah. Namun, dalam kasus ini keluarga tak sesuai dengan susunan acara seperti itu.

Ketika ijab qabul selesai, Pak Penghulu mempersilahkan mempelai wanita keluar untuk menandatangani buku nikah, namun keluarga bilang "Nanti saja, buku nikah akan dihantarkan ke dalam dan ditanda tangani di dalam." Walaupun saya rasa pak Penghulu merasa aneh, namun beliau tetap tersenyum, dan bilang tidak apa-apa. Saya lihat pak penghulu masuk ke dalam sebentar dan kemudian langsung keluar dan meninggalkan ruangan.

Namun pada saat itu, panitia keluarga kembali berkata, "Sekarang nasehat pernikahan."
Dalam hati saya berkata, "What? Nasehat pernikahan ketika mempelai wanita masih belum berada dalam ruangan? Bukankah nasehat itu untuk kedua mempelai dan bukan cuma untuk mempelai pria saja?" Whatever, saya persilahkan pemberi nasehat untuk menyampaikan tausyiah, tanpa dihadiri oleh mempelai wanita.

Lalu sesudah nasehat pernikahan, mempelai wanita sebelum dihadirkan juga dijemput terlebih dahulu dengan diiringi oleh sholawat. Dan di dalam buku panduan pernikahan yang telah dimodifikasi oleh keluarga, acara selanjutnya adalah sungkeman. Ketika mempelai wanita dijemput, kursi-kursi untuk orang tua telah langsung disiapkan, dan orang tua juga langsung duduk di kursi untuk sungkeman tersebut.

Mempelai wanita memasuki ruangan dan langsung saya pandu untuk sungkeman kepada orang tua dan sesepuh. Ternyata panitia baru sadar, bahwa kedua mempelai belum berfoto dengan buku nikah, cincin kawin belum dipasangkan, dan mas kawin belum diserahkan...

Panitia mulai tampak kebingungan, dan saya tampak seperti orang bodoh.

Namun berusaha untuk tetap tenang, saya sampaikan bahwa nanti aja setelah sungkeman kedua mempelai berfoto dengan buku nikah, dan juga pemasangan cincin dan penyerahan mas kawin.

Ketika akhirnya sungkeman selesai, kedua mempelai, however, berfoto dengan buku nikah - namun dengan latar belakang orang tua yang duduk di kursi sungkeman. Tak etis lah kalau mereka disuruh pindah. Pemasangan cincin pun demikian, begitu pula penyerahan mas kawin.

Terasa aneh, terasa ganjil, dan kacau balau lau lau lau....
Kalau tujuan mengubah-ubah acara demi sesuatu yang lebih baik, lalu kalau jadinya kayak gini...? Malah jauh lebih buruk, bukan?

Lalu ketika itu masih berlangsung, seorang panitia yang dari awal sok ngatur, seorang bapak-bapak berkumis menginstruksikan saya untuk menutup acara dan mempersilahkan hadirin menikmati hidangan.

Well, saya laksanakan. Padahal selayaknya sesudah sungkeman kedua mempelai berfoto dulu dengan orang tua dan saudara kandung setelah akad nikah, karena busana sewaktu akad berbeda dengan waktu resepsi. Lalu keluarga terdekat memberikan ucapan selamat sebelum acara ditutup dan hadirin dipersilahkan menikmati hidangan.

Perasaan galau dan sungguh tak puas.

Lalu untuk resepsi, ada pula sedikit hal yang hendak dimodifikasi lagi. Bahwa akan ada penampilan marawis dan tari 'japin' ketika mempelai sampai di pelaminan dan bersamaan dengan pengambilan foto simbolis.

Kembali saya mengernyitkan kening dan berkata dalam hati "What?"
Namun saya sampaikan bahwa itu teknisnya sulit, karena bagaimana mungkin tim fotografer mengambil foto ketika ada marawis dan penari 'japin' tengah beraksi di depan panggung? Kenapa tidak kita tunggu saja pengambilan foto yang hanya berlangsung kurang dari dua menit itu sebelum mempelai dipersilahkan duduk?

Mungkin akal sehat sudah mulai timbul, mungkin pula sudah terbersit rasa bersalah atas segala kekacauan sewaktu akad, panitia mendengarkan kata saya dan tak pernah mengintervensi lagi sewaktu resepsi dilaksanakan dengan prosedur standar. That is the best run down.

Akhirnya resepsi berlangsung dengan sukses, dan alamak alangkah malunya kalau sampai kacau balau pula di resepsi, mengingat tamu-tamunya banyak pengusaha dan pimpinan mempelai di tempat kerja, juga civitas akademika dari fakultas kedokteran universitas tertua dan terbesar di Indonesia tempat mempelai berkuliah.

Analisa saya, hal kejadian ini dikarenakan adanya arogansi dari beberapa panitia (laki-laki) yang berpendapat bahwa ini tak boleh itu tak boleh, dan adat kita begini. Padahal bapak-bapak panitia tersebut, saya lihat bukanlah orang yang berpendidikan cukup tinggi, terlihat kolot dan tidak banyak memahami bagaimana 'adat' kalau kita menyelenggarakan resepsi di gedung.

Para vendor pernikahan ini, dan juga saya selaku pembawa acara, memang adalah orang-orang yang dibayar oleh klien. Namun demikian, kalau ada sesuatu yang tidak berjalan dengan semestinya, tetap saja kita merasa tak puas, terlepas dari berapapun bayaran yang diterima.

Berhari-hari kasus ini menjadi pemikiran saya, hingga makan tak enak tidur pun tak nyenyak...
Mudah-mudahan dapat menjadi hikmah bagi kita bersama. Sekarang pun, kalau masih teringat akan kejadian, ini rasa gondok di hati pun tetap muncul, he he...






Tidak ada komentar: