Kamis, November 05, 2020

Korona dan Masa Depan Manusia Tanpa Tubuh Fisik

 


Aku sama dengan Anda, kita sangat membenci korona. Ingin rasanya cepat-cepat terbebas dari virus laknat yang telah membuat keadaan jadi kacau balau seperti ini. Semua tidak normal lagi seperti dulu.

Tapi, dari sudut pandang lain, dari ruang lingkup yang lebih luas, sebenarnya virus korona telah mendorong manusia berevolusi lebih cepat untuk tidak lagi mengutamakan kehadiran fisik.

Anda, dan saya, selaku manusia sebenarnya bukanlah seonggok daging dan darah belaka. Kita adalah bagaimana kita bereaksi.

Seperti yang pernah saya sampaikan, jika tubuh yang terdiri dari daging dan tulang ini hancur lebur sekalipun, namun jika kita bereaksi seperti biasanya, maka eksistensi kita akan tetap ADA.

Jadi kita yang sebenarnya bukanlah fisik, melainkan kesadaran (consciousness) dan karakter kita sendiri.

Di masa depan, tubuh biologis kita yang terdiri dari bahan-bahan yang mudah rusak ini akan ditinggalkan sepenuhnya. Wujud makhluk primata berkaki dua akan menjadi sejarah purba.

Kita akan menjelma menjadi semacam software yang tidak tergantung pada bentuk fisik. Dan proses ke arah itulah yang telah dipercepat oleh virus korona.

***

Aku pernah berkhayal, suatu saat kita bertemu dalam keadaan yang sangat berbeda. Jutaan tahun di masa depan. Perjumpaan kita berlangsung hangat, karena sudah lama kita tak berkomunikasi. Lalu aku akan bertanya padamu, ingatkah kamu ketika dulu kita masih berbentuk manusia? Lalu kita akan tertawa mengingat segala kekonyolan yang pernah kita lakukan. Kita akan mengenang saat-saat memencet HP, dan sebelumnya lagi berkirim surat dengan kertas dan amplop, juga membahas pengalaman menerima telegram dan bertelepon di wartel.

Namun semua itu mungkin tak akan pernah terjadi. Karena kita sudah lama mati sebelum manusia berhasil membebaskan diri dari tubuh biologisnya yang sangat lemah dan rentan ini.

Korona dan Evolusi Manusia

Jadi seperti inilah alam semesta bekerja. Alam telah melahirkan manusia, namun ia juga bisa memusnahkannya.

Kita telah berevolusi menjadi makhluk sosial yang selalu bersama-sama. Pada jaman dulu pilihannya hanya dua: bergabung dengan kelompokmu atau mati. Jika kita seorang penyendiri, maka kecil kemungkinan akan mendapat makanan. Hidup kita pun akan segera berakhir diterkam binatang buas.

Kebersamaan dan ikatan yang erat dalam kelompok adalah hal yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Sampai kemudian kita mampu mengendalikan api, di malam hari kita selalu berkumpul untuk makan bersama di sekeliling api unggun, sembari menikmati kehangatan.

Berkumpul di depan api pulalah yang akhirnya membuat kita bercerita dan berbagi kisah satu sama lain. Ternyata berbagi kisah tersebut juga membuat kita jadi tambah pintar, karena kita belajar dari pengalaman orang lain.

Kita pun kemudian menetap dan mulai bertani serta meninggalkan cara hidup nomaden kita. Kita kemudian membangun negeri, berkembang biak makin banyak, mempergunakan pengetahuan dan teknologi yang makin berkembang, dan akhirnya sampailah kita ke jaman modern seperti adanya sekarang ini.

Tak disangka-sangka, kali ini kebersamaan kita diuji oleh sebuah virus bernama virus korona. Sang virus membuat kita tak lagi dapat berada berdekatan dengan manusia lain, membuat kita harus meninggalkan cara hidup yang telah kita praktekkan selama ratusan ribu tahun.

Pada level ekstrem, sang virus pun hanya memberi dua pilihan: menjauh lah satu sama lain, atau mati.

Akhirnya kita terpaksa menjaga jarak, mengadopsi cara hidup baru dan mempergunakan sistem online.

Akankah virus ini akan membelokkan evolusi manusia dari makhluk yang selalu bersama dan berkelompok menjadi makhluk yang hidup sendiri-sendiri? Kita masih belum mengetahui jawabannya.

Namun dengan segala pengetahuan dan kepintaran yang kita miliki kita berusaha keras untuk mengalahkan dan memusnahkan virus tersebut agar cara hidup lama kita dapat kita pertahankan.

Serpong, 26 Oktober 2020

Pekerjaan yang Paling Penting: Menyuruh Orang Melaksanakan Pekerjaannya

Aku tumbuh besar dengan pikiran bahwa semua orang itu harus melakukan apa yang sudah menjadi pekerjaan dan tanggung jawabnya. Tetapi kemudian hidup ini mengajarkanku bahwa kenyataannya tidak seperti seperti anggapanku.


Jika seseorang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab, bisa dipastikan 100% bahwa ia tidak akan melakukan hal itu.


Pelajaran pertama yang kudapat adalah ketika kuliah. Saat itu kami, para mahasiswa membutuhkan perlengkapan sound system untuk sebuah acara. Namun ketika waktu pelaksanaan acara makin dekat, sound system tersebut belum juga ada. Terus aku tanyakan kepada staff yang bertanggung jawab, mengapa belum ada juga sound-nya? Aku dengan polos mengingatkan bahwa itu adalah tugas dan tanggung jawabnya, sekaligus juga pekerjaannya.


Apa yang kudapat? Aku ditantang berkelahi dan hampir dipukul. Kamu anak baru jangan sok macam-macam disini, begitu kata staf yang bersangkutan.


Pengalaman-pengalamanku selanjutnya selalu konsisten membuktikan bahwa secara default, seseorang itu tidak akan pernah melaksanakan pekerjaan dan tanggung jawabnya, sampai akhirnya ia dengan terpaksa melakukannya karena ada yang menyuruh.


Oleh karena itu, keberadaan orang yang menyuruh seseorang melakukan pekerjaannya menjadi sangat penting. Pekerjaan untuk menyuruh orang lain melakukan pekerjaannya ternyata digaji jauh lebih besar daripada orang yang melakukan pekerjaan itu sendiri.


Dalam sebuah proyek membangun rumah misalnya, tukang berjibaku  dengan pasir, semen dan debu, membanting tulang seharian. Namun, mandor yang kerjaannya hanya mengawasi dan tangannya sama sekali tidak kotor, digaji jauh lebih tinggi daripada tukang.


Mengapa para supervisor, para manajer, dan para direktur, digaji jauh lebih tinggi dibanding orang yang benar-benar melaksanakan pekerjaan lapangan? Karena mereka jauh lebih penting. Tanpa mereka, apapun pekerjaan tidak akan selesai.


Jadi, jika Anda ingin mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi, jangan mencari keahlian untuk bekerja, tapi pelajarilah bagaimana cara yang paling efektif untuk menyuruh orang lain melakukan pekerjaannya.


Serpong, 5 November 2020