Kemaren, entah kenapa henponku berdering tak henti-henti di sore hari kira-kira waktu ashar. Rupanya kakakku yang menelepon dari kampung. Karena panggilan tadi tak terjawab olehku, aku segera menelepon balik.
"Ada apa da?" Tanyaku.
"Kami semua sudah berkumpul di rumah Mak Tuan. Beliau sedang sakit payah dan dari tadi menanyakanmu juga berkali-kali, ia sangat ingin bicara denganmu."
Yang kami panggil sebagai 'Mak Tuan' adalah mamakku yang bernama asli Lumani bin Moe'in. Mamak adalah istilah dalam bahasa Minang untuk paman. Beliau adalah kakak dari ibuku dan saat ini sudah sepuh, berusia lumayan lanjut, dan memang akhir-akhir ini sudah sering sakit.
Semasa masih kuat beliau punya beruk untuk memetik kelapa dan juga membuka warung kopi tempat orang bisa ngopi sambil main domino.
Telepon diberikan oleh kakakku pada beliau dan dengan suara yang berat, ia mencoba bicara padaku. " Af..." Kata beliau memanggil nama kecilku.
"Ya mak. Bagaimana keadaan mamak kini?" Tanyaku.
"Tolong maafkan kesalahan amak padamu. Bermaaf-maafan kita kalau..."
Sebelum beliau menyelesaikan kalimatnya, aku langsung menyela, "Samo-samo mak. Aku yang muda yang perlu minta maaf ke mamak, karena kita tidak tak pernah tau siapa yang akan pergi duluan mak. Itu contohnya mamanya anak-anakku sudah mendahului kita mak, padahal masih muda. Kini bagaimana keadaan mamak?"
Aku dengar beliau menangis. Selanjutnya kembali kakakku yang menjawab di ujung telepon. Beliau masih belum bisa banyak ngomong dan dan mohon do'aku agar keadaannya membaik.
Ya, aku berharap semoga keadaan mamakku segera membaik. Terlalu banyak kepedihan yang harus ditanggungnya. Seumur hidupnya ia dicap sebagai PKI karena dulu lampu Petromax di warung kopinya pernah dipinjam untuk rapat simpatisan PKI di kampungku.
Di kampungku, lampu Petromax yang memakai minyak tanah ini disebut sebagai lampu strongkeng. Lampu jenis ini adalah lampu yang paling terang cahayanya, ketika listrik belum mengalir ke kampungku. Bagi mamakku, meminjamkan lampu strongkeng tersebut untuk rapat rupanya adalah kesalahan terbesar yang akibatnya harus ditanggungnya seumur hidup. Ia dicap sebagai PKI yang hina, padahal ia tidaklah berbeda dengan masyarakat yang lainnya di kampungku. Ia seorang yang sholeh, selalu shalat lima waktu dan melaksanakan ajaran agama Islam dengan ta'at.
Foto beliau tanggal 9 Juli 2010, ketika aku tengah pulang kampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar