Tanah yang terletak di Dusun Cidokom ini sebelumnya milik Pak Enap Bin Mitar (lahir sekitar tahun 20an, meninggal 2008), yang juga diwarisi dari orang tua beliau, Pak Mitar. Sayang saya sama sekali tidak memiliki informasi mengenai alm. Pak Mitar yang merupakan ayah dari Pak Enap ini.
Pak Enap (atau dibaca 'Nap) memiliki beberapa orang anak, dan sebelum meninggalnya Pak Nap telah membagi-bagi tanah untuk masing-masing anak.
Tanah ini merupakan bagian dari si Sholeh (usia sekitar 40 th), salah seorang putra laki-laki dari Pak Nap. Namun si Sholeh memiliki masalah hutang-piutang yang sangat besar sehingga menjual tanah bagiannya adalah solusi yang dipilih.
Asal mula si Sholeh terlilit hutang bermula ketika ia mengalami gagal bayar uang paket yang dikelolanya.
Paket tersebut adalah tabungan paket milik penduduk yang dipercayakan disimpan pada si Sholeh, yang akan diambil sesaat sebelum lebaran untuk membeli kebutuhan hari raya.
Namun ketika simpanan paket tersebut jatuh tempo, dimana hari lebaran sudah dekat, si Sholeh karena suatu sebab tidak bisa membayarkan dana tabungan penduduk tersebut karena uangnya telah terpakai oleh si Sholeh secara pribadi.
Akhirnya masyarakat pun marah dan menuntut si Sholeh beramai-ramai, sehingga si Sholeh terpaksa untuk sementara meninggalkan Desa Waru Jaya, tak berani menghadapi tuntutan penuh amarah para nasabahnya.
Menurut informasi, si Sholeh melarikan diri ke daerah Tangerang sambil menitipkan pesan pada keluarga agar menghubunginya jika tanah sudah laku dan ia bisa menutup hutang-hutang tersebut.
Sebenarnya kejatuhan si Sholeh berawal dari masalah perempuan. Ia sebelumnya memiliki seorang istri yang sangat rajin berusaha. Istrinya membuka warung sembako, dan warungnya sangat laris karena ia tidak banyak-banyak mengambil untung.
Dari hasil usaha istrinya tersebut, si Sholeh telah berhasil menabung bahan-bahan material untuk membangun rumah. Batu kali sudah ada, batako sudah ada, pasir pun sudah. Bahkan stock bambu pun sudah siap.
Namun entah kenapa, si Sholeh terpikat pada wanita lain. Seorang wanita, janda yang telah memiliki beberapa anak. Walaupun penampilannya bahenol tapi ia seorang pemalas.
Singkat kata, semua aset-aset si Sholeh yang telah ada ludes. Dan istrinya yang rajin pun kabur, meninggalkan empat orang anak yang masih dalam usia sekolah.
Si Sholeh memang akhirnya menikah dengan janda tersebut, di awal kebangkrutannya, sebelum ia melarikan diri.
Telah lebih dari setahun berlalu, si Sholeh dalam pelarian dan tanah tersebut belum juga laku. Ada yang menawar, tapi harganya sangat rendah.
Pada suatu sore di bulan April 2006, pak Anin, tetangga si Sholeh yang juga sering menjadi calo tanah freelance, bertemu dengan pak guru Wahdi yang kebetulan lewat di Kampung Waru.
Berkat kegigihan Pak Anin memprospek, akhirnya Pak Wahdi sepakat untuk membeli tanah tersebut. Akhirnya tanah tersebut terjual.
Setelah uang pembelian tanah dibayar lunas, si Sholeh segera dikabari dan ia pun pulang.
Hutang-hutangnya dibayar lunas, dan sisanya dipergunakan untuk membangun kembali rumah si Sholeh di samping rumah saudaranya.
Pak Enap, ayah si Sholeh meninggal pada tahun 2008. Ia dikuburkan di belakang rumah di tanahnya sendiri karena pihak yang berwenang tak mengizinkan ia dimakamkan di pemakaman umum.
Demikianlah riwayat tanah tersebut, yang sekarang dimiliki secara sah oleh Pak Wahdi, seorang guru. Yaitu saya sendiri.
Foto-Foto
Foto dari kejauhan Pak Nap dan menantu: Rokhayah (istri si Tholib), istri si Sholeh, dan Pak Nap. Foto diambil tahun 2006. Di depan adalah motor Yamaha Vega R punya pak guru Wahdi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar